ISLAM DAN toleransi beragama
Oleh :
Eko Sumarno/13207241034
Indonesia, secara
tipikal merupakan masyarakat yang plural, terutama pluralitas yang bercorak
primordial, pluralitas yang disebabkan adanya perbedaan karena unsur bawaan.
Pluralitas masyarakat Indonesia tidak saja karena keanekaragaman suku, ras, dan
bahasa, tetapi juga dalam agama. ( Ajat Sudrajat, 2013 : 137)
Indonesia mempunyai banyak kepulauan yang
pastinya juga mempunyai beraneka ragam agama dan budaya. Agama yang diakui di
negara Indonesia adalah agama Islam, Hindu, Buddha, Kristen Katolik,
Kristen Protestan dan Konghuchu. Dari sekian agama tersebut kita harus rukun
karena kita diciptakan sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang lain.
Di dalam ajaran agama,
pasti akan terjadi kesalahpahaman dalam menafsirkan sesuatu. Kesalahpahaman itu
terjadi karena pada hakikatnya kita manusia. Sebagai manusia, pastinya kita
tidak pernah lepas dari kesalahan. Oleh karena itu meskipun kita berbeda
pendapat dalam menafsirkan sesuatu, tetapi kita tetap menjaga kerukunan dengan
tidak saling mencaci, menghina, namun tetap menghargai pendapat masing-masing. (Tim Karangmalang C15, 2013 : 90)
Dalam hubungannya
dengan agama, pengalaman beberapa waktu terakhir memberikan kesan akan mudahnya
agama menjadi alat provokasi yang dapat menimbulkan konflik antar umat
beragama.
Mengingat pluralitas
agama merupakan realitas sosial yang nyata, maka sikap keagamaan yang perlu
dibangun selanjutnya adalah prinsip kebebasan dalam memeluk suatu agama.
Prinsip yang demikian antara lain dibangun dari misi historis Islam bahwa “Tidak
ada paksaan untuk memeluk agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat...” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an,
2011 :42)
Islam adalah agama
rahmatan lil’alamin, yaitu agama yang memberikan rahmat, kedamaian, dan
ketenangan tidak hanya kepada pemeluknya, tetapi juga kepada umat lain, bahkan
kepada seluruh makhluk dan semesta alam. Kerukunan umat Islam dengan penganut
agama lainnya telah jelas disebutkan dalam Alqur’an dan Al-hadist.
Dengan demikian, oleh
karena agama Islam itu membawa peraturan-peraturan Allah yang dipatuhi, maka
orang Islam itu bukan saja menjauhkan diri dari kemungkaran dan selalu berbuat
kebajikan, melainkan juga mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran itu
(Abu
Ahmadi, Noor Salimi, 1994 : 5)
Akhir-akhir ini telah terjadi sejumlah kasus yang cukup
mencemaskan. Rosita S. Noer mengemukakan, bahwa selama kurun waktu tiga tahun
terakhir ini, kerusuhan sosial semakin menjadi gejala umum bagi perjalanan
kehidupan bangsa Indonesia. ( Jalaluddin 2010 : 367).
Hal serupa juga diungkapkan oleh Mahfud MD "Kita yang rukunlah
sebagai bangsa ini karena kalau kita tidak rukun, kita rugi sendiri. Yang
menang pun rugi kalau kemenangan itu diperoleh secara tidak rukun," kata
mahfud md Tribunnews.com Kamis
(8/8/2013).
Mahfud MD mengkritisi situasi di Indonesia
belakangan ini yang rentan terhadap pergolakan akibat perbedaan keyakinan.
Contoh terakhir yang terjadi adalah pemboman wihara di Jakarta Barat belum lama
ini. Selain itu kerap terjadi sejumlah konflik antar umat beragama, baik yang
berbeda ajaran maupun alirannya.
Untuk mengatasi hubungan yang tidak harmonis antar umat beragama ini dan
untuk mencari jalan keluar bagi pemecahan masalahnya, maka H.A Mukti Ali, yang
ketika itu menjabat sebagai Menteri Agama, pada tahun 1971 melontarkan gagasan
untuk dilakukannya dialog agama. Dialog agama ini diselenggarakan untuk
mempertemukan tokoh-tokoh agama dalam rangka pembinaan kerukunan umat beragama.
Dialog agama bukanlah polemik tempat orang beradu argumentasi lewat pena.
Dialog bukan depat untuk saling mengemukakan kebenaran pendapat dari seseorang
dan mencari kesalahan pendapat orang lain. Dengan adanya dialog antar agama ini juga diharapkan dapat
menumbuhkan sikap optimis terhadap tujuan untuk mencapai kerukunan antar umat
beragama.
Dialog agama pada hakekatnya dalah suatu percakapan bebas, terus terang
dan bertanggung jawab, yang didasari oleh saling pengertian dalam menanggulangi
masalah. Oleh karena itu,maka perlu dikembangkan prinsip “agree in disagreement” (Setuju dalam perbedaan). Hal ini berarti
setiap peserta dialog agama harus berlapang dada dalam sikap dan perbuatan. (Ajat Sudrajat, 2013 : 149)
Selain itu juga dibutuhkan sikap toleransi antar pemeluk agama, toleransi
adalah bersifat atau bersikap menghargai pendirian, pendapat, pandangan,
kebiasaan, kepercayaan, dan sebagainya yang berbeda atau bertentangan dengan
pendirian sendiri.
Rasa
toleransi bisa berbentuk dalam macam-macam hal. Misalnya seperti, pembangunan
tempat ibadah oleh pemerintah, tidak saling mengejek dan mengganggu umat lain
dalam interaksi sehari-harinya, atau memberi waktu pada umat lain untuk
beribadah bila memang sudah waktunya mereka melakukan ibadah. Banyak hal
yang bisa dilakukan untuk menunjukkan sikap toleransi. Hal ini sangat penting
demi menjaga tali kerukunan umat beragama di Indonesia, karena jika rasa
toleransi antar umat beragama di Indonesia sudah tinggi, maka konflik-konflik
yang mengatasnamakan agama di Indonesia dengan sendirinya akan berkurang
ataupun hilang sama sekali.
Sebagai
makhluk sosial, sudah seharusnya kita saling bertoleransi sesama umat beragama,
baik yang sama agamanya maupun berbeda. Dalam hal ibadah terutama dan rasa
saling menghormati dan tidak menjelek-jelekan agama lain. Karena dengan
menghormati dan menghargai sesama umat beragama, maka kita dapat membangun
suasana lingkungan yang tentram dan damai.
Merajut hubungan damai antar penganut agama hanya bisa dimungkinkan jika
masing-masing pihak menghargai pihak lain. Mengembangkan sikap toleransi
beragama, bahwa setiap penganut agama boleh menjalankan ajaran dan ritual
agamanya dengan bebas dan tanpa tekanan. Oleh karena itu, hendaknya toleransi
beragama kita jadikan kekuatan untuk memperkokoh silaturahmi dan menerima
adanya perbedaan. Dengan ini, akan terwujud perdamaian, ketentraman, dan
kesejahteraan.
Melalui toleransi ini diharapkan terwujud ketenangan,
ketertiban, serta keaktifan menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinan
masing-masing. Dengan sikap saling menghargai dan saling menghormati itu, akan
terbina peri kehidupan yang rukun, tertib, dan damai. Telah dijelaskan bahwa
sikap toleransi tidak berarti membenarkan orang lain berpendapat lain yang
tidak sesuai dengan hak asasi, karena pengertian toleransi itu sendiri juga
berarti suatu sikap perbuatan yang dilandasi oleh kasih sayang sesama manusia.
Maka dari itu kita harus senantiasa menjaga
dan meningkatkan sikap toleransi yang tinggi antar umat beragama.
DAFTAR PUSTAKA
⦁ Jalaluddin. (2010). Psikologi Agama Edisi Revisi, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Cetakan ke-14
⦁ Abu Ahmadi, Noor salimi.
(1994). Dasar-dasar Pendidikan Agama
Islam, Jakarta : Bumi Aksara. Edisi 1, Cetakan ke-2
⦁ Ajat Sudrajat, dkk. (2013) Din Al-Islam, Yogyakarta : UNY Press.
Edisi 1, Cetakan ke-3
⦁ Yayasan Penyelenggara
Penterjemah Al-Qur’an. (2011). Al-Qur’an
dan Terjemahannya, Solo : PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. Cetakan ke-2
⦁ Tim Karangmalang C13. (2013). Refleksi Keberagaman Untuk Kemanusiaan,
Yogyakarta : Samudra Biru. Cetakan pertama
⦁ Tribunnews.com 8 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar